Pengawasan Residu Obat untuk Tembus Pasar Luar Negeri
Wednesday, 03 November 2010 17:21
Boleh jadi saat ini adalah eranya perdagangan bebas. Tetapi hal itu tak serta merta membuat setiap negara bebas menjual produknya ke negara lain. Faktanya, justru kian banyak persyaratan dan peraturan yang harus dipenuhi untuk bisa menjual produk ke luar negeri. Diantaranya persyaratan keamanan pangan yang diterapkan Uni Eropa (UE) dalam CD:96/23/EC untuk produk perikanan.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap produk perikanan (udang/ikan) yang diekspor ke UE harus bebas dari kandungan residu obat-obatan ikan. Tak hanya UE, bahkan Jepang juga mulai ikut-ikutan menerapkan aturan serupa bagi produk-produk perikanan yang akan diekspor ke negaranya.
Karena alasan inilah maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengadakan monitoring dan evaluasi (monev) tentang penggunaan obat-obatan di lapangan. Tujuannya untuk melihat kandungan residu obat ikan atau bahan kimia dalam udang dan ikan. Dalam jangka panjang diharapkan bisa menghasilkan produk budidaya perikanan yang ramah lingkungan dan aman bagi konsumen. Selain itu juga sebagai pembinaan sekaligus memberikan masukan kepada daerah tentang langkah-langkah pengendalian jika menemukan residu obat ikan atau udang.
Maka pada Juli lalu dikirimkan lima tim ke lima provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara. Sampel yang diambil adalah sampel udang dengan jumlah mencapai 197 sampel. Sampel-sampel itu selanjutnya diserahkan untuk diuji pada laboratorium yang telah ditunjuk yaitu laboratorium BPMHPK DKI Jakarta, laboratorium BBPBAT Sukabumi, laboratorium PT SGS Indonesia dan laboratorium PT Mutu Agung Lestari.
Sementara untuk kegiatan pembinaan Monitoring dan Pengendalian Residu Obat Ikan dan Bahan Kimia diadakan di Kalimantan Timur (18 – 20 Juli) dan di Lampung (7 – 10 Juli). Beberapa hal yang butuh tindak lanjut dari kegiatan pembinaan di Kaltim antara lain Kaltim perlu kondisi iklim yang kondusif, SDM, fasilitas sarana dan prasarana peningkatan kapasitas laboratorium uji demi peningkatan produksi perikanan di sana
Kemudian harus dibangun tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah dengan pelaku usaha budidaya—pembudidaya, asosiasi maupun UPI—dalam hal quality and health assurances. Selain itu, dalam pengelolaan usaha budidaya diharapkana para pelaku usaha budidaya menerapkan Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB), bertanggung jawab, berkelanjutan dan ramah lingkungan guna menghasilkan komoditas budidaya yang berdaya saing di pasar global. Juga harus ada sosialisasi dan pelatihan pengendalian residu kepada para petugas atau staf teknis Dinas Kelautan Perikanan (DKP) kabupaten atau kota.
Untuk subtansi parameter uji yang belum dilakukan uji monitoring mandiri oleh perusaahaan swsata (PT CPB) dan PT Aruna Wijaya Sakti (PT AWS), sampelnya akan dilakukan oleh tim monitoring pusat dan daerah (DKP Lampung). Selanjutnya PT CPB dan AWS akan menyampaikan hasil monitoring mandiri kepada Dit. Kesehatan Ikan dan Lingkungan (Dit. Kesling) cq Subdit. Pengendalian Residu secara rutin.
Lalu perlu dibentuk forum pertemuan antara asosiasi perudangan—Komite Udang Indonesia (KUI) dan Shrimp Club Indonesia (SCI)—dengan para pembudidaya yang difasilitasi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah guna membahas dan menyikapi subtansi parameter uji residu yang dipersyaratkan UE dalam NRCP. Kemudian PT Windu Permana dan PT Maju Tambak Sumur akan segera menindaklanjuti hasil pembinaan yang telah dilakukan oleh Dit. Kesling (Subdit. Pengendalian Residu). Yaitu mengenai pengelolaan manajemen tambaknya mulai dari sumber air, benur, pakan, obat-obatan hingga penanganan produk akhir saat panen dengan mengacu pada CBIB. Juga perlu ada pelatihan pengendalian residu kepada para pembudidaya, petugas atau staf teknis DKP provinsi, kabupaten atau kota untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. (rd)
Boleh jadi saat ini adalah eranya perdagangan bebas. Tetapi hal itu tak serta merta membuat setiap negara bebas menjual produknya ke negara lain. Faktanya, justru kian banyak persyaratan dan peraturan yang harus dipenuhi untuk bisa menjual produk ke luar negeri. Diantaranya persyaratan keamanan pangan yang diterapkan Uni Eropa (UE) dalam CD:96/23/EC untuk produk perikanan.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap produk perikanan (udang/ikan) yang diekspor ke UE harus bebas dari kandungan residu obat-obatan ikan. Tak hanya UE, bahkan Jepang juga mulai ikut-ikutan menerapkan aturan serupa bagi produk-produk perikanan yang akan diekspor ke negaranya.
Karena alasan inilah maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengadakan monitoring dan evaluasi (monev) tentang penggunaan obat-obatan di lapangan. Tujuannya untuk melihat kandungan residu obat ikan atau bahan kimia dalam udang dan ikan. Dalam jangka panjang diharapkan bisa menghasilkan produk budidaya perikanan yang ramah lingkungan dan aman bagi konsumen. Selain itu juga sebagai pembinaan sekaligus memberikan masukan kepada daerah tentang langkah-langkah pengendalian jika menemukan residu obat ikan atau udang.
Maka pada Juli lalu dikirimkan lima tim ke lima provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara. Sampel yang diambil adalah sampel udang dengan jumlah mencapai 197 sampel. Sampel-sampel itu selanjutnya diserahkan untuk diuji pada laboratorium yang telah ditunjuk yaitu laboratorium BPMHPK DKI Jakarta, laboratorium BBPBAT Sukabumi, laboratorium PT SGS Indonesia dan laboratorium PT Mutu Agung Lestari.
Sementara untuk kegiatan pembinaan Monitoring dan Pengendalian Residu Obat Ikan dan Bahan Kimia diadakan di Kalimantan Timur (18 – 20 Juli) dan di Lampung (7 – 10 Juli). Beberapa hal yang butuh tindak lanjut dari kegiatan pembinaan di Kaltim antara lain Kaltim perlu kondisi iklim yang kondusif, SDM, fasilitas sarana dan prasarana peningkatan kapasitas laboratorium uji demi peningkatan produksi perikanan di sana
Kemudian harus dibangun tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah dengan pelaku usaha budidaya—pembudidaya, asosiasi maupun UPI—dalam hal quality and health assurances. Selain itu, dalam pengelolaan usaha budidaya diharapkana para pelaku usaha budidaya menerapkan Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB), bertanggung jawab, berkelanjutan dan ramah lingkungan guna menghasilkan komoditas budidaya yang berdaya saing di pasar global. Juga harus ada sosialisasi dan pelatihan pengendalian residu kepada para petugas atau staf teknis Dinas Kelautan Perikanan (DKP) kabupaten atau kota.
Untuk subtansi parameter uji yang belum dilakukan uji monitoring mandiri oleh perusaahaan swsata (PT CPB) dan PT Aruna Wijaya Sakti (PT AWS), sampelnya akan dilakukan oleh tim monitoring pusat dan daerah (DKP Lampung). Selanjutnya PT CPB dan AWS akan menyampaikan hasil monitoring mandiri kepada Dit. Kesehatan Ikan dan Lingkungan (Dit. Kesling) cq Subdit. Pengendalian Residu secara rutin.
Lalu perlu dibentuk forum pertemuan antara asosiasi perudangan—Komite Udang Indonesia (KUI) dan Shrimp Club Indonesia (SCI)—dengan para pembudidaya yang difasilitasi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah guna membahas dan menyikapi subtansi parameter uji residu yang dipersyaratkan UE dalam NRCP. Kemudian PT Windu Permana dan PT Maju Tambak Sumur akan segera menindaklanjuti hasil pembinaan yang telah dilakukan oleh Dit. Kesling (Subdit. Pengendalian Residu). Yaitu mengenai pengelolaan manajemen tambaknya mulai dari sumber air, benur, pakan, obat-obatan hingga penanganan produk akhir saat panen dengan mengacu pada CBIB. Juga perlu ada pelatihan pengendalian residu kepada para pembudidaya, petugas atau staf teknis DKP provinsi, kabupaten atau kota untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. (rd)
Comments
Post a Comment