Ikhtilath Dan Bersahabat
Pertanyaan
Assalaaamulaikum wr wb. Ustadz yang mulia, saya mau bertanya tentang Ikhtilat (bercampur baur antara pria dan wanita non muhrim di suatu tempat). Apakah benar hal itu dilarang agama walaupun untuk kepentingan muamalah/mencari ilmu atau kegiatan-kegiatan umum lain yang bermanfaat? Sebab, saya pernah dengar seorang ustadz (di tempat saya) melarangnya walaupun untuk hal-hal demikian diatas?
Terus yang kedua, bolehkah kita memiliki sahabat lawan jenis (maksudnya benar-benar sahabat sejati) hanya untuk konsultasi, curhat dan tidak lebih dari itu? Masalahnya saya pernah ditegur seorang teman (saya kira juga baik keagamaannya- red) karena saya mempunyai sahabat lawan jenis yang sudah mulai dulu saya bersahabat dgnya. Sebenarnya dia menganggap saya saudara sendiri begitu pula saya sebaliknya. Malahan dia sekarang mau menikah. Diantara kami tak ada masalah. Dan akhir-akhir ini kami pun menjaga jarak untuk menghindari fitnah, katanya. Dan saya rasa itu ada benarnya. Namun sampai saat ini kami pun biasa saja bersahabat seperti dulu. Hanya saja ustadz, saya merasa tidak enak dengan teguran teman tersebut (dia berpendapat itu tidak boleh). Apakah benar itu dilarang agama?
Jawaban
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
1. Terkait dengan masalah ikhtilath, memang Islam pada dasarnya memberi batasan mana yang dibolehkan dan mana yang tidak boleh. Karena ihktilath itu sendiri antara satu kondisi dengan kondisi yang lain bisa berbeda, tergantung situasi dan keandaannya. Di masa Rasulullah SAW, para shahabat sebenarnya bukan sama sekali tidak bercampur dengan para wanita. Buktinya dalam banyak hadits kita temukan mereka bisa berdialog, bertanya jawab dan melakukan aktifitas sosial lainnya dengan lawan jenis. Bahkan sebelumnya belum ada pemisahan antara wanita dan laki-laki dalam masalah pintu masjid nabawi. Barulah kondisinya lebih sesak dan mulai terasa berjejal, ada usulan untuk mengkhususkan satu pintu untuk wanita hingga hari ini. Dalam kondisi tertentu, kita juga tidak bisa menafikan adanya kebutuhan obyektif baik dalam skala umum atau dalam ruang lingkup khusus dan tidak ada yang dapat melakukannya selain adanya pertemuan antara laki-laki dan wanita. Para ulama umumnya membolehkan wanita tampil di depan umum untuk hal-hal yang urgen dan penting, mislanya untuk menyampaikan da‘wah atau memberikan pelajaran dengan memperhatian ketentuan-ketentuan Islam. Karena itu, dalam hal-hal tertentu yang disebut ikhtilath masih bisa ditolerir asal memenuhi beberapa persyaratan pokok, antara lain:
A. Para wanita wajib mengenakan pakaian yang menutup aurat sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Allah SWT berfirman "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka” (QS Al Ahzaab 27).
B. Para wanita tidak tabarruj atau memamerkan perhiasan dan kecantikan Allah berfirman ”Janganlah memamerkan perhiasan seperti orang jahiliyah yang pertama” (QS Al Ahzaab 33).
C. Wanita hendaknya tidak melunakkan, memerdukan atau mendesahkan suara. Allah SWT berfirman "Janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melunakkan dan memerdukan suara atau sikap yang sejenis) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS Al Ahzaab 32).
D. Menjaga pandangan diantara kedua belah pihak "Katakanlah pada orang-orang laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya "(QS An Nuur 30-31). Kesemuanya itu bisa ditolelir asalkan dengan syarat pokok yaitu aman dari fitnah. Tapi bila dirasakan fitnah itu akan terjadi, maka para ulama pun sepakat untuk menghindari ikhtilath tersebut.
2. Sedngkan masalaah kedua yang anda sebutkan sebuah hubungan khusus antara laki-laki dan wanita, maka ini agak lebih berat masalahnya. Memang kita bisa saja mengatakan bahwa hubungan ini tidak lebih dari sebuah persahabatan, pertemanan, rekan dan sebagainya. Namun justru titik masalahnya ada disini. Yaitu ketika dua orang berlainan jenis ‘menyepi‘ baik secara pisik atau secara non-pisik, maka sebenarnya disitulah celah-celah syetan bermain. Apalagi di zaman sekarang dimana alat komunikasi sedemikian mudahnya, ada SMS, email, chatting, note dan sebagainya. Sehingga meski khalwat pisik itu tidak terjadi, namun sebenarnya ada khalwat ‘virtual.’ Artinya ada sebuah ‘frekuensi pribadi’ yang bersifat khusus dimana kebesertaan orang lain menjadi tidak diharapkan. Dan ini sebenarnya adalah hakikat dari khalwat yang dilarang itu. Tapi disini memang sulitnya, mereka yang sedang menjalin kontak khusus seperti ini biasanya tidak terlalu merasa adanya ‘wilayah berbahaya’ seperti ini. Bahkan dengan segala argumen, mereka akan mengatakan bahwa hubungan ini adalah hubungan biasa saja, hubungan kawan, sahabat, karib dan sedikit ditambahi curhat sana curhat sini. Dan dalam kasus, memang biasanya begitu. Hubungan itu tidak lebih (sekali lagi tidak lebih) dari hubungan biasa. Paling tidak menurut mereka yang sedang merasakannya/melakukannya. Hal itu bisa saja diterima dan dibenarkan. Tapi harus diingat bahwa syetan itu ada dan menjadi pihak ketiga. Mungin pada awal-awal hubungan, syetan tidak langsung meng-KO sasarannya. Bahkan bisa saja syetan malah memberikan segudang ide yang dapat melegitimasi hubungan itu. Dan buat orang lain, bisa saja argumen itu masuk akal dan bisa diterima. “oh, mereka bukan pacaran, tapi sedang membahas masalah krisis organisasi atau kantor atau perkuliahan.” Begitu barangkali orang akan berujar. Bila sampai disini aman, maka syetan pun merasa cukup puas, karena sikap hati-hati dan sorotan orang sudah agak reda. Dan hubungan jalan terus karena sudah ada alasan yang masuk akal bagi orang disekelilingnya bahwa hubungan itu ternyata ‘biasa’ saja. Kesempatan inilah yang sangat diharapkan oleh syetan. Dan bukan syetan kalau tidak ahli dalam menyusun strategi. Dalam setiap strateginya, syetan itu terkenal ulung, sabar, punya manhaj, punya sejuta kiat dan trik jitu. Yang tidak kenal syetan pastilah akan menganggap bahwa hubungan khusus seperti itu Cuma hal biasa saja. Tidak perlu ada yang dikuatirkan. Jadi syetan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melumat mangsanya. Jadi bila pada awal hubungan itu kelihatannya baik-baik saja, bukan berarti aman. Ingat pesan Rasulullah SAW "bila laki-laki dan wanita yang bukan mahram ‘menyendiri’ atau menyepi (terjemahan dari khalwat), maka yang ketiga adalah syetan."
Wallahu A‘lam Bish-Showab, Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Assalaaamulaikum wr wb. Ustadz yang mulia, saya mau bertanya tentang Ikhtilat (bercampur baur antara pria dan wanita non muhrim di suatu tempat). Apakah benar hal itu dilarang agama walaupun untuk kepentingan muamalah/mencari ilmu atau kegiatan-kegiatan umum lain yang bermanfaat? Sebab, saya pernah dengar seorang ustadz (di tempat saya) melarangnya walaupun untuk hal-hal demikian diatas?
Terus yang kedua, bolehkah kita memiliki sahabat lawan jenis (maksudnya benar-benar sahabat sejati) hanya untuk konsultasi, curhat dan tidak lebih dari itu? Masalahnya saya pernah ditegur seorang teman (saya kira juga baik keagamaannya- red) karena saya mempunyai sahabat lawan jenis yang sudah mulai dulu saya bersahabat dgnya. Sebenarnya dia menganggap saya saudara sendiri begitu pula saya sebaliknya. Malahan dia sekarang mau menikah. Diantara kami tak ada masalah. Dan akhir-akhir ini kami pun menjaga jarak untuk menghindari fitnah, katanya. Dan saya rasa itu ada benarnya. Namun sampai saat ini kami pun biasa saja bersahabat seperti dulu. Hanya saja ustadz, saya merasa tidak enak dengan teguran teman tersebut (dia berpendapat itu tidak boleh). Apakah benar itu dilarang agama?
Jawaban
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
1. Terkait dengan masalah ikhtilath, memang Islam pada dasarnya memberi batasan mana yang dibolehkan dan mana yang tidak boleh. Karena ihktilath itu sendiri antara satu kondisi dengan kondisi yang lain bisa berbeda, tergantung situasi dan keandaannya. Di masa Rasulullah SAW, para shahabat sebenarnya bukan sama sekali tidak bercampur dengan para wanita. Buktinya dalam banyak hadits kita temukan mereka bisa berdialog, bertanya jawab dan melakukan aktifitas sosial lainnya dengan lawan jenis. Bahkan sebelumnya belum ada pemisahan antara wanita dan laki-laki dalam masalah pintu masjid nabawi. Barulah kondisinya lebih sesak dan mulai terasa berjejal, ada usulan untuk mengkhususkan satu pintu untuk wanita hingga hari ini. Dalam kondisi tertentu, kita juga tidak bisa menafikan adanya kebutuhan obyektif baik dalam skala umum atau dalam ruang lingkup khusus dan tidak ada yang dapat melakukannya selain adanya pertemuan antara laki-laki dan wanita. Para ulama umumnya membolehkan wanita tampil di depan umum untuk hal-hal yang urgen dan penting, mislanya untuk menyampaikan da‘wah atau memberikan pelajaran dengan memperhatian ketentuan-ketentuan Islam. Karena itu, dalam hal-hal tertentu yang disebut ikhtilath masih bisa ditolerir asal memenuhi beberapa persyaratan pokok, antara lain:
A. Para wanita wajib mengenakan pakaian yang menutup aurat sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Allah SWT berfirman "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka” (QS Al Ahzaab 27).
B. Para wanita tidak tabarruj atau memamerkan perhiasan dan kecantikan Allah berfirman ”Janganlah memamerkan perhiasan seperti orang jahiliyah yang pertama” (QS Al Ahzaab 33).
C. Wanita hendaknya tidak melunakkan, memerdukan atau mendesahkan suara. Allah SWT berfirman "Janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melunakkan dan memerdukan suara atau sikap yang sejenis) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS Al Ahzaab 32).
D. Menjaga pandangan diantara kedua belah pihak "Katakanlah pada orang-orang laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya "(QS An Nuur 30-31). Kesemuanya itu bisa ditolelir asalkan dengan syarat pokok yaitu aman dari fitnah. Tapi bila dirasakan fitnah itu akan terjadi, maka para ulama pun sepakat untuk menghindari ikhtilath tersebut.
2. Sedngkan masalaah kedua yang anda sebutkan sebuah hubungan khusus antara laki-laki dan wanita, maka ini agak lebih berat masalahnya. Memang kita bisa saja mengatakan bahwa hubungan ini tidak lebih dari sebuah persahabatan, pertemanan, rekan dan sebagainya. Namun justru titik masalahnya ada disini. Yaitu ketika dua orang berlainan jenis ‘menyepi‘ baik secara pisik atau secara non-pisik, maka sebenarnya disitulah celah-celah syetan bermain. Apalagi di zaman sekarang dimana alat komunikasi sedemikian mudahnya, ada SMS, email, chatting, note dan sebagainya. Sehingga meski khalwat pisik itu tidak terjadi, namun sebenarnya ada khalwat ‘virtual.’ Artinya ada sebuah ‘frekuensi pribadi’ yang bersifat khusus dimana kebesertaan orang lain menjadi tidak diharapkan. Dan ini sebenarnya adalah hakikat dari khalwat yang dilarang itu. Tapi disini memang sulitnya, mereka yang sedang menjalin kontak khusus seperti ini biasanya tidak terlalu merasa adanya ‘wilayah berbahaya’ seperti ini. Bahkan dengan segala argumen, mereka akan mengatakan bahwa hubungan ini adalah hubungan biasa saja, hubungan kawan, sahabat, karib dan sedikit ditambahi curhat sana curhat sini. Dan dalam kasus, memang biasanya begitu. Hubungan itu tidak lebih (sekali lagi tidak lebih) dari hubungan biasa. Paling tidak menurut mereka yang sedang merasakannya/melakukannya. Hal itu bisa saja diterima dan dibenarkan. Tapi harus diingat bahwa syetan itu ada dan menjadi pihak ketiga. Mungin pada awal-awal hubungan, syetan tidak langsung meng-KO sasarannya. Bahkan bisa saja syetan malah memberikan segudang ide yang dapat melegitimasi hubungan itu. Dan buat orang lain, bisa saja argumen itu masuk akal dan bisa diterima. “oh, mereka bukan pacaran, tapi sedang membahas masalah krisis organisasi atau kantor atau perkuliahan.” Begitu barangkali orang akan berujar. Bila sampai disini aman, maka syetan pun merasa cukup puas, karena sikap hati-hati dan sorotan orang sudah agak reda. Dan hubungan jalan terus karena sudah ada alasan yang masuk akal bagi orang disekelilingnya bahwa hubungan itu ternyata ‘biasa’ saja. Kesempatan inilah yang sangat diharapkan oleh syetan. Dan bukan syetan kalau tidak ahli dalam menyusun strategi. Dalam setiap strateginya, syetan itu terkenal ulung, sabar, punya manhaj, punya sejuta kiat dan trik jitu. Yang tidak kenal syetan pastilah akan menganggap bahwa hubungan khusus seperti itu Cuma hal biasa saja. Tidak perlu ada yang dikuatirkan. Jadi syetan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melumat mangsanya. Jadi bila pada awal hubungan itu kelihatannya baik-baik saja, bukan berarti aman. Ingat pesan Rasulullah SAW "bila laki-laki dan wanita yang bukan mahram ‘menyendiri’ atau menyepi (terjemahan dari khalwat), maka yang ketiga adalah syetan."
Wallahu A‘lam Bish-Showab, Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Comments
Post a Comment